Kamis, 27 Oktober 2016

Deskripsi Pidana Mati Bagi Pengedar Psikotropika Golongan I Menurut Pasal 59 Ayat (2) UU Psikotropika

Oleh: Arif Rahman, S.H.
Pengedaran Psikotropika golongan I secara ilegal dan terorganisasi
Disebutkan dalam pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU Psikotropika:[1]
(1). Barang siapa :
a.              Menggunakan Psikotropika golongan I selain dimaksud dalam pasa l4 ayat (2); atau
b.             Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam pasal 6; atau
c.    Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksuddalam pasal 12 ayat (3); atau
d.             Mengimpor psikotropika golongan I selain ntuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e.              Secara tanpa hak milik, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I
dipidana dengan pidana penjara paing singkat 4 (empat) tahun, paling lama15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(2.)Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Dari pasal-pasal di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan penyalahgunaan psikotropika pada Pasal 59 ayat (I) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 meliputi beberapa hal, yaitu :
1.             Menggunakan psikotropika secara ilegal (tidak dibenarkan oleh hukum).
2.             Memproduksi dan atau menggunakan psikotropika golongan I untuk produksi secara ilegal.
3.             Mengedarkan psikotropika secara ilegal.
4.             Mengimpor psikotropika selain untuk pengetahuan.
5.             Secara tanpa hak menyimpan atau membawa psikotropika golongan I.
Dan dasar hukum yang melegalkan pelaksanaan hukuman mati bagi pengedar psikotropika golongan I adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 59 ayat (2) ditegaskan:
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun (dua puluh) tahun dan dikenakan pidana denda sebesar Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”[2]
Jadi tindak pidana produksi, pengimporan, dan pengedaran psikotropika golongan I yang dilakukan secara ilegal dan terorganisir dengan tujuan agar psikotropika golongan I tersebut disalahgunakan, pelakunya dapat dihukum dengan hukuman mati.
Konvensi Wina tahun 1988 mengharuskan semua negara termasuk Pemerintah Republik Indonesia untuk menindak lanjuti dalam suatu hukum nasional. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika mengatur tentang alur peredaran psikotropika. Alur peredaran psikotropika telah dikemas dalam suatu sistem pengawasan yang ketat melalui instrument perizinan. Setiap perbuatan yang bertentangan dengan perizinan tersebut dianggap melakukan tindak pidana di bidang psikotropika.[3]
Tindak pidana psikotropika ini, bila ditelaah lebih rinci akan ditemukan beberapa unsur sebagai suatu kejahatan, yakni :
a.       Subjek kejahatan tindak pidana psikotropika dapat digolongkan ke dalam dua bagian. Bagian pertama, bersifat individual, misalnya para pengguna psikotropika tanpa izin, para pengedar ilegal, dan para dokter yang melakukan malpraktik. Bagian kedua, badan-badan hukum yang secara ilegal melakukan peredaran psikotropika tidak sesuai izin yang telah diberikan oleh pejabat yang berwenang.
b.      Objek kejahatan adalah bahan-bahan psikotropika baik dalam bentuk obat maupun dalam bentuk lainnya.
c.       Cara melakukan kejahatan oleh para pengguna psikotropika secara ilegal pada umumnya adalah meliputi tindakan menggnakanh, memiliki, menyimpan, dan membawa psikotropika selain yang ditentukan sesuai dengan keinginannya.
d.      Terhadap badan hukum yang melakukan kejahatan yang bersifat ilegal, dapat digolongkan ke dalam tiga hal yakni :
1.      Memproduksi, melakukan pengangkutan tanpa label.
2.      Mengeluarkan, mengedarkan, menyalurkan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan.
3.      Mengimpor, mengekspor psikotropika selain yang ditentukan.
Demikian pula dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971, telah diatur pencegahan peredaran gelap, yakni dengan memperhatikan sistem konstitusi, hukum, dan administrasi, para pihak akan melakukan pencegahan penyalahgunaan dengan:[4]
1.  Membuat peraturan-peraturan nasional guna kepentingan koordinasi dalam tindakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap dengan menunjuk kepada suatu badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi tersebut.
2.         Melakukan kampanye pemberantasan peredaran gelap psikotropika.
3.         Mengadakan kerjasama antara para pihak dan organisasi internasional yang berwenang.

Pengertian tentang kejahatan terorganisasi (organized crime) saat ini sudah tidak lagi merupakan masalah per negara, tetapi sudah merupakan masalah internasional dan transnasional. Hal ini dibuktikan dengan diselenggarakannya World Ministerial Conference on Organized Crime di Napoli, Italia 21 – 23 Nopember 1994.[5]
Salah satu definisi yang diberikan oleh penegak hukum antara lain : “ organized crime as on going conspiracy, a highly sructure organization having branches in many cities and ruled by a national body called Comission”.[6]Jadi unsur dari kejahatan yang terorganisasi mengandung beberapa hal, yaitu :[7]
1.  Adanya struktur organisasi yang melibatkan pimpinan yang mengontrol jalannya oraganisasi, memiliki metode kerja, dan memiliki wilayah kerja.
2.         Tersebar diberbagai daerah atau dalam arti memiliki cabang-cabang dalam melaksanakan aktivitasnya.
3.        Melakukan aktivitas melawan hukum yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.
4.         Cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Maka memberantas kejahatan terorganisasi lebih sulit dibandingkan mengatasi kejahatan yang dilakukan secara individu oleh seorang pelaku kejahatan, karena memiliki sistem dan metode yang lebih terarah.



[1]Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Semarang, 2003, hlm. 8
[2]Ibid.
[3]Siswanto Sunarso, Op. Cit.. hlm. 63.
[4]Ibid, hlm. 64-65
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Ibid., hlm. 64.

Kamis, 20 Oktober 2016

HUKUMAN MATI MENURUT HAK AZASI MANUSIA (HAM)

Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.

Pemberlakuan hukuman mati dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Kontroversi yang terjadi ditimbulkan oleh adanya pihak yang pro dan kontra terhadap pemberlakuan hukuman mati ini. Terlepas dari kontroversi tersebut, hukuman mati merupakan hukuman pokok yang disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selain hukuman penjara, kurungan, dan denda.[1]
Hukuman mati di Indonesia diatur dalam pasal 10 KUHP, yang memuat dua macam hukuman, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Hukuman pokok, terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Hukuman tambahan terdiri dari : pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman keputusan hakim. Tata cara pelaksanaan hukuman mati diatur dalam UU no. 2/PnPs/1964 yang dipedomani sampai saat ini.
Di dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan keamanan negara (makar), pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, pasal 111 ayat (2) tentang melakukan hubunga dengan negara asing hingga terjadi perang, pasal 124 ayat (3) tentang penghianatan di waktu perang, pasal 124 (bis) tentang menghasut dan memudahkan terjadinyahuru-hara, pasal 140 ayat (3) tentang pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat, pasal 149 k ayat (2) dan pasal 148 o ayat (2) tentang kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan dan pasal 444 tentang pencurian dengan kekerasan secara bersekutu yang mengakibatkan luka berat atau mati.24
Dalam perkembangan kemudian, terdapat beberapa Undang-Undang yang memuat ancaman hukuman mati, yaitu UU No. 22 /97 tentang Narkotika, UU No. 5 /97 tentang Psikotropika, UU No. 26 /2000 tentang peradilan HAM, UU No. 31/99 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi dan UU No. 1/ 2002 tentang Tindak Pidana Korupsi.25
Di luar KUHP, pidana mati sering dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana subversi (Undang-Undang Nomor 11/PnPs/1963) dan pelaku tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976). Setidaknya dalam kurun waktu 1992 – 1997 sejumlah lebih kurang 12 orang telah dijatuhi hukuman mati karena melakukan tindak pidana pembunuhan, pencurian dengan kekerasan, narkotika dan subversi.
Alasan mempertahankan pidana mati karena berbagai produk telah menetapkan secara eksplisit ancaman maksimal pidana mati, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM.
Dalam membaca UUD 1945 tidak bisa sepotong-sepotong, tetapi harus secara utuh. Memang menurut pasal 28 huruf (A) UUD 1945 menyebutkan : “Hak setiap orang untuk hidup”, akan tetapi jika dibaca isi pasal 28 huruf (J) UUD 1945 secara eksplisit mengatakan :”kebebasan setiap orang harus dibatasi oleh Undang-Undang”. Isi lengkap pasal 28 huruf (J) UUD 1945 tersebut antara lain :[2]
1.    Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2.   Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang denga maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutanyang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
3.   ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Itu berarti, bahwa penerapan pidana mati di berbagai undang-undang adalah merupakan pengejawantahan dari UUD 1945.
Di dalam hukum positif (yang berlaku) di Indonesia, baik dalam KUHP Nasional maupun di berbagai perundang-undangan, hukuman mati ada dan tercantum dengan jelas, bahkan tata cara pelaksanaannya pun juga telah diatur dengan jelas. Maka dari sudut hukum (legalistic) tidak ada hal yang harus diperdebatkan. Hukuman mati sebenarnya bertujuan bukan untuk balas dendam, tetapi sebagai suatu cara untuk memperbaiki keadaan masyarakat.
Dalam menyikapi tentang pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku perbuatan kriminal, ada dua kelompok yang berbeda pendapat dan saling bertolak belakang. Kelompok yang pertama yaitu kelompok yang tidak setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati. Alasan kelompok ini bahwa
1.         Tujuan dari pemidanaan disamping melindungi masyarakat juga memperbaiki individu yang telah melakukan tindak pidana. Jadi jika hukuman mati diterapkan, akan sangat bertentangan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri.[3]
2.         Karena mati itu cuma sekali. Bilamana keliru, maka tidak dapat diperbaiki lagi.[4]
3.         Tugas negara adalah melindungi warga negaranya. Jadi dalam kondisi apapun negara berkewajiban mempertahankan nyawa warga negara. Jika tidak sanggup melindungi nyawa warga negaranya, hal itu akan sangat merendahkan kewibawaan negara sebagai abdi dan pilindung masyarakat.[5]
4.         Sebagian pendukung kelompok ini juga berpendapat bahwa hukuman mati tidak menjamin tindak kejahatan tersebut dapat hilang. Kenyataan yang terjadi setelah pidana mati tersebut diterapkan masih banyak orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.[6]
5.         Hukuman mati bersifat abadi, artinya apabila telah dilaksanakan, maka tidak bisa dirubah. Jika ternyata kemudian bahwa keputusan tentang hukuman tersebut tidak mempunyai dasar yang benar (salah) maka orang tersebut sudah terlanjur meninggal.[7]
Kelompok yang kedua adalah kelompok yang setuju terhadap pemberlakuan hukuman mati. Kelompok ini mengaitkan pemberlakuan hukuman mati dengan tiga tujuan hukum, yaitu :[8]
1.         Keadilan.
Dari aspek keadilan, maka penjatuhan hukuman mati seimbang dengan tindak kejahatan yang dilakukannya (terorisme, narkoba, pembunuhan berencana, dll).
2.         Kepastian hukum.
Dari aspek kepastian hukum yaitu ditegakkannya hukum yang ada dan diberlakukan, menunjukkan adanya konsistensi, ketegasan, bahwa apa yang tertulis bukan sebuah angan-angan, khayalan, tetapi kenyataan yang dapat diwujudkan dengan tanpa pandang bulu. Kepastian hukum juga hal yang penting bagi terpidana mati, yang sudah barang tentu berada dalam penantian sejak dijatuhi vonis mati pada tingkat pertama sampai dengan ditolaknya grasi oleh presiden.
3.         Manfaat atau kegunaan.
Dari aspek manfaat atau kegunaan hukuman mati akan membuat efek jera kepada orang lain yang telah dan akan melakukan kejahatan, serta juga dapat memelihara wibawa pemerintah.

Berkaitan dengan hak asasi manusia kelompok ini mengemukakan bahwa hak asasi juga mengandung kewajiban asasi. Dimana ada hak disitu ada kewajiban, yaitu hak melaksanakan kewajiban dan kewajiban melaksanakan hak, hak seseorang dibatasi oleh kewajiban menghargai dan menghormati hak orang lain. Apabila seseorang telah dengan sengaja menghilangkan hak hidup (nyawa) orang lain, maka hak hidup itu bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan dan dibela.
Selain di Indonesia, masih ada negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Prancis yang mencantumkan hukuman mati di dalam undang-undang hukum pidananya. Belanda sendiri yang merupakan negara asal dari hukum pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini, sudah sejak lama menghapuskan pidana mati ini dari undang-undang hukum pidananya. Sejak tahun 1870 KUHP Belanda telah tidak lagi mencantumkan pidana mati.[9]
Karena penerapan pidana mati telah mempunyai legitimasi konstitusional, maka pemberlakuan hukuman mati di Indonesia pun tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) terpidana mati, sebab kriteria atau unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) telah secara eksplisit diatur dalam pasal 9 UU No. 26 tentang Pengadilan HAM.[10]Tindak kejahatan pembunuhan, narkoba, terorisme adalah perbuatan yang merusak apa yang harus dan wajib dipelihara. Maka hukuman yang tepat bagi pelakunya adalah hukuman mati.




[1]Abdu Al Qodir Audah, Al Tasyri’ Al Jana’iy Al Islamy juz 1, Dar Al Katib Al Araby, Beirut, tt., hlm. 2.
24 Bambang Waluyo, Pidana Dan Pemidanaan,(Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm. 13.
[3]Andi Hamzah, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984). hlm. 36.
[4]Zamhari Abidin, Pengertian Dan Asas Hukum Pidana Dalam Schema Dan Synopsis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). hlm. 89.
[5]Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 36.
[6]Ibid.
[7]Ahmad Hanafi,, Op. Cit.,, hlm. 299.
[9]Harmien Hadiati Koeswadji, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 23.
[10]Ibid. hlm. 6

Senin, 17 Oktober 2016

TEORI PEMIDANAAN

(Part.3)
Oleh: Nining Ratnaningsih, S.H.,

Berikut ini, akan diuraikan mengenai teori gabungan (verenigings theorien) sebagai bagian dari teori pemidanaan sebagai berikut:

3.Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu :[1]
       i.          Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
             ii.          Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat, kepuasan masyarakat diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana. Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b.  memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c.    menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d.   membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana.

Teori integratif dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:[2]
a. Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib masyarakat, tetapi tidak boleh lebih berat dari suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh narapidana.
c. Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara kedua hal di atas.

Dalam konteks itulah Muladi mengajukan kombinasi tujuan pemidanaan yang dianggap cocok dengan pendekatan-pendekatan sosiologis, ideologis, dan yuridis filosofis dengan dilandasi oleh asumsi dasar bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat, yang mengakibatkan kerusakan individual ataupun masyarakat. Dengan demikian maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana.
Perangkat tujuan pemidanaan tersebut adalah: (a). Pencegahan (umum dan khusus), (b). Perlindungan masyarakat, (c). Memelihara solidaritas masyarakat, (d). Pengimbalan/pengimbangan.[4]Selanjutnya Van Bemmelen menyatakanpidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.[5]
Dalam Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undangHukum Pidana Tahun 2005, mengenai tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54,yaitu:

a. Pemidanaan bertujuan:
1)        Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan normahukum demi pengayoman masyarakat;
2)        Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan sehinggamenjadi orang yang baik dan berguna;
3)        Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalammasyarakat, dan
4)        Membebaskan rasa bersalah pada terpidana,
5)        Memaafkan terpidana.

 b.    Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkanmartabat manusia.
Melihat tujuan pemidanaan di atas, Sahetapy mengemukakan bahwa tujuanpemidanaan tersebut sangat penting, karena hakim harus merenungkan aspekpidana/pemidanaan dalam kerangka tujuan pemidanaan tersebut denganmemperhatikan bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harusmampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si korban.[6]
Dari sejumlah pendapat ahli hukum pidana mengenai tujuan pidana danpemidanaan sebagaimana disebutkan di atas, kesemuanya menunjukkan bahwatujuan pidana dan pemidanaan itu tidaklah tunggal, misalnya untuk pembalasansemata, atau untuk pencegahan saja. Akan tetapi penulis sependapat bahwa tujuanpidana dan pemidanaan itu meliputi beberapa tujuan secara integratif.
Sehubungan dengan tujuan pidana, Andi Hamzah mengemukakan tiga Rdan satu D, yakni:[7]Reformation, Restraint, dan Restribution, serta Deterrence. reformasi berartimemperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagimasyarakat. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat,juga tersingkirnya pelanggar hukum dari masyarakat, berarti masyarakat ituakan menjadi lebih aman. Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggarhukum karena telah melakukan kejahatan. Deterrence berarti menjera ataumencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual, maupun orang lain yangpotensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan kejahatankarena melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu:[8] Pertama, memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan berartimenjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yangsama, sedangkan tujuan sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsisebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi penjahatpenjahatpotensial dalam masyarakat. Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggappemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi atau rehabilitasipada si terpidana.



[1] Koeswadji, Op.cit, hlm. 11-12
[2] Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa Ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 24.
[3] Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op. cit, hlm. 22.
[4] Muladi, Op.cit, hlm. 61.
[5]  OemarsenoAdji , Hukum Pidana,( Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 14.
[6] J. E. Sahetapy, Tanggapan Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Pro Justitia, Majalah Hukum, Tahun VII, Nomor 3, Juli 1989, hlm. 22.
[7] Andi Hamzah, 1994, Op. cit, hlm. 28.
[8]Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 45.